Minggu, 18 Oktober 2009

Muhammadiyah dan Dialog Pemikiran

Kalau DR. Muhadjir, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang menyatakan ada tiga ordo atau elemen dalam Muhammadiyah yang terdiri dari agamawan (ulama), intelektual (cendekiawan), dan pelayan yang ketiganya harus saling bersinergis agar tercipta Muhammadiyah yang kuat, solid, dan bermanfaat maka saya menambah satu ordo lagi yang juga sangat berperan dalam Muhammadiyah.

Menurut pengamatan saya, ordo ini tidak termasuk dalam jenis pertama, kedua, maupun ketiga, secara mutlak, tetapi, masuk di antara ketiga-tiganya secara parsial. Ordo ini sebenarnya sudah menjadi khas Muhammadiyah, yaitu ordo penggembira. Dalam Muhammadiyah faksi yang bisa dibilang terbesar adalah faksi penggembira ini. Hanya saja akhir-akhir ini kalau diamati, penggembira yang bahasa arabnya basyîran-mubasysyir, mulai agak bergeser menjadi nadziran, munadzir, yang kadangkala sering tidak menyampaikan tabsyîr, tapi sebaliknya.

Terkait dengan acara ini, terus terang sangat mendukung dan menyukai kegiatan seperti ini. Saya pribadi pernah menggagas dan menyampaikan pada kawan-kawan lain agar segera melakukannya. Walaupun tidak terlalu keren seperti mengunakan istilah Muktamar Pemikiran ataupun Kolokium, tapi hanya sekedar dialog pemikiran yang menyertakan berbagai kalangan pemikir Muhammadiyah dari berbagai madzhab pemikiran.

Kegiatan seperti dialog pemikiran ini perlu untuk dilakukan karena para pemikir Muhammadiyah itu memang sudah beragam. Baik karena pengaruh almamater maupun pengaruh tempat tinggal, daerah, dan lokalitas. Paling tidak, ada dua madzhab besar yang kemudian memunculkan sejumlah labelisasi yang diberikan. Sebelah sana liberal, sebelah sini radikal; konservatif. Istilah-istilah itu setidaknya muncul saat dan setelah Muktamar Muhammadiyah di Malang.

Kalau hal itu bisa dilihat secara santai hal itu dapat dianggap sebagai sebuah proses terapi, tetapi kalau diseriusi hal itu dapat menyedihkan. Menyedihkan kalau interaksi di antara keduanya lebih menampilkan sebagai dialektika pemikiran daripada dialog-dialog pemikiran, karena akan lebih tampil menjauh daripada saling mendekat. Hal ini bila dibiarkan akan menjadi kontraproduktif. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya dialog. Sudah cukup lama ide itu belum sempat terlaksana, tetapi alhamdulillah pada hari ini dapat terlaksana, dan saya kira istilah yang digunakan sekarang, Kolokium, tidak perlu menjadi masalah.

Kalau istilah acara ini harus mengalami perubahan dari Muktamar ke kolokium saya rasa ada yang positif di balik itu. Muktamar Muhammadiyah yang terakhir kita laksanakan itu di Malang dan juga di UMM, maka kalau ada Muktamar lagi di tempat yang sama nanti bisa dianggap sebagai Muktamar saingan. Nilai positif yang kedua, Muktamar Muhammadiyah kemarin yang hadir itu belum menyeluruh. Terbatas pada kelompok umat dari representasi daerah, tapi yang sekarang ini hadir juga perwakilan representasi mazhab pemikiran dan juga generasi.

Dari Istilah yang pernah ada, pilihannya hanya dua, kolokium atauhalaqah. Karena halaqah sudah dipakai NU, maka Muhammadiyah menggunakan kolokium saja. Muhammadiyah memang harus mengembangkan sesuatu yang bernuansa modern, jadi dalam bidang seni-budaya pun harusnya seni modern, jangan hanya kasidahan, marawis, tapi kalau bisa pop atau rock, tapi lebih bernuansa Islam.

Dalam konteks sekarang, kegiatan seperti ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilkukan. Gejala dialektika pemikiran yang berpotensi saling menjauhkan itu harus segera kita ubah menjadi gejala dialog pemikiran.

Ada semacam kerancuan alam pikiran di kalangan Muhammadiyah, bukan berarti organisasi belum membukukan dan membakukan yang seharusnya dibukukan atau dibakukan seperti Putusan Tarjih dan putusan-putusan strategis organisasi, tetapi itu lebih banyak meliputi aspek strategis gerakan.

Jadi masih ada semacam kerancuan, bahkan tidak hanya pada ambiguitas pemikiran, tapi juga absurditas pemikiran. Terutama dalam konteks ketika harus menyikapi dan memberikan respons pada tantangan baru, yang dalam hal ini ada ambiguitas, dan juga sampai pada nuansa absurditas pemikiran. Mengapa demikian, sebenarnya ini bukan merupakan suatu hal yang salah, tapi juga merupakan konsekuensi logis dari kedirian kita yang sejatinya membuka peluang bagi keragaman pemikiran itu sendiri.

Secara teologis, Muhammadiyah kadang-kadang menyebut diri sebagai gerakan yang secara teologis berada pada kategori salafiyah atau salafisme. Hal itu juga yang menjadi landasan KHA. Dahlan dalam pendirian Muhammadiyah, salah satu referensinya adalah Tafsir al-Manar dari Rasyid Ridla, tokoh salafiyah abad 20. Itupun juga ada referensi lain, dan pada bidang-bidang tertentu bersatu dengan gerakan Salafiyah. Tapi ketika muncul gerakan salafi sekarang ini, yaitu gerakan yang cara berpakaiannya harus memakai jubah, di atas matanya memakai celak, celananya di atas tumit, tata cara shalatnya berbeda, dan jumlah varianya juga banyak. Apakah Muhammadiyah bagian dari salafi yang seperti ini?

Ada lagi titik-titik kategoris salafi lain yang juga tampil di Indonesia, sehingga kita sadar bahwa varian Islam Indonesia itu sangat banyak. Ketika saya ditanya “Apa Muhammadiyah itu salafi?”, saya jawab: “Ya, Muhammadiyah salafi juga”. Ada lembaga luar negeri yang tidak mau bekerja sama dengan kita, kecuali di dalam berita acara ditulis bahwa Muhammadiyah adalah gerakan yang berpegang pada aqidah salafi, yaitu salafus-saleh. Saya juga bilang “Ya”, tapi mungkin kita sadari salafi-nya, yaitu salafi tengahan.

Tapi kalau mau jujur, saya lihat salah satu ajaran utama itu adalah ar-ruju’ ila Qur’an was-Sunnah Tetapi kegagalan kaum salafiyah, termasuk yang membawa bendera ar-ruju ila Qur’an was-Sunnah adalah kegagalan mereka dalam merumuskan metodologi kembali pada al-Qur’an dan Sunnah, jadi kuncinya adalah kaifa narja’, yakni pada kerangka kaifiyah. Ini saya lihat, termasuk Muhammadiyah juga belum berhasil. Mungkin kita tidak pernah berfikir untuk merumuskan kerangka metodologi dan kerangka epistemologis untuk kembali pada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam putusan tarjih ada tambahan; was-Sunah al-Maqbulah. Jadi Muhammadiyah ini bukan inkarus-Sunnah dan bukan inkarul-Qu’ran, tetapi merujuk pada al-Qur’an, dan as-Sunnah Maqbulah. Cuma di situ belum selesai. Sekarang Majelis Tarjih kita mempunyai tugas besar untuk merumuskan kaifa narja’ ila-Qur’an was-Sunnah, tapi pada tingkat metodologi dan epistemologi.

--------

Naskah asli : Prof. DR. M. Din Syamsuddin

Naskah ini dikutip dari pidato yang disampaikan dalam acara Pembukaan Kolokium Nasional Pemikiran Islam yang diadakan oleh al-Ma’un Institute Jakarta dan Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang di Kampus UMM 11-13 Pebruari 2008

Pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah

0 komentar: